Wednesday, April 29, 2015

Aku dan Motor Butut

“aku heran, aku heran, satu kenyang seribu kelaparan” begitulah  yang kudengar dari handsfree di telingaku, aku lupa judul lagunya, yang jelas ada kata retaknya. Jika membahas tentang retak, di depan ada jalanan yang retak atau bisa dikatakan begitu karena banyak lubangnya.
  brook…..brook…. begitulah bunyi motor bututku jika masuk lubang di jalan, biasanya ku cari bagian yang tidak rusak, tapi kali ini semua bagiannya rusak, jadi terpaksa aku lalui saja, kasihan motorku. Tapi apakah ‘mereka’ kasihan padaku? Aku yang cuma punya motor butut harus menikmati jalan bagus ini, bagus karena banyak ukirannya.
Beginilah kegiatanku jika sedang di atas motor, berbicara sendiri sambil memikirkan beberapa hal yang sedang ku lalui atau sudah dilalui, atau mendengar musik dan bernyanyi menjadi pilihan lainnya. Biasanya kebiasaan ini kulakukan dalam keadaan kaca helm tertutup, biar tak ada orang yang tahu kalau aku sedang gila.
Baiklah aku sebenarnya gila, gila kalau sendiri, mungkin inilah kenapa manusia dibilang sebagai makhluk sosial, atau bisa dibilang tidak bisa hidup jika sendirian, saking gilanya aku bisa teriak tanpa alasan, apalagi kalau dilihat dari gayaku berpakaian, gaya rambutku, dan aku berjenggot, mungkin orang yang pertama kali bertemu akan langsung menilai kalau aku benar-benar gila, haha…yang jelas aku bahagia dengan kegilaanku.
Wah hampir saja aku lupa, kalau di persimpangan ini aku harus berbelok.
Kebiasaan lainku ketika di atas motor jika tidak ada musik adalah memikirkan apa yang sedang dilakukan semua orang yang kulihat selama perjalanan, atau apa yang sedang mereka biacarakan, bahkan menilai perasaan mereka. Seperti bapak yang bawa motor di depanku ini, dia bawa motor dengan lengan dikembangkan, sehingga sepertinya dia mau terbang, barangkali keteknya lagi basah, atau dia masih baru dalam hal membawa motor, berarti dia belum tahu, bawa motor itu bukan untuk dibikin tegang gitu, tapi dinikmati, atau mungkin ada balon tak terlihat yang diikatkan ke sikunya, balonnya pasti banyak sekali kalau begitu, kalau tidak mana bisa setinggi itu dia mengangkat sikunya.
Tiba-tiba bapak itu berhenti, apakah dia tahu kalau aku lagi membicarakannya? Langsung saja semakin ku tambah kecepatanku. Setelah jauh ku lihat kaca spion, ternyata dia tidak mengejarku, aku senang karena dia tidak mendengar ucapanku tentang dia tadi. Eh ada mobil di depanku, di kaca belakangnya ada tulisan Baby’s Car, hebat juga nih yang punya mobil, seorang bayi, waduh aku saja masih punya motor bukan mobil. Aku coba untuk melihat sopirnya dari belakang sini, tidak ada siapapun di dalam yang terlihat karena kacanya gelap, aku jadi penasaran, benarkah yang bawa mobil ini seorang bayi, aku coba untuk mendahuluinya, saat menambah kecepatan ada motor yang memotongku dari kanan, aku kurangi lagi kecepatanku sehingga harus mengulangi lagi dari awal, aku ulangi menambah kecepatanku untuk mendahului mobil ini, eh ada lagi yang nyalip dari kanan, aku kesal, setelah dia lewat aku langsung ikuti motor itu. Nah sampai juga di dekat kaca mobil bagian sopir, waktu aku mau menoleh ke kiri, ternyata ada mobil dari arah berlawanan, sehingga harus aku urungkan niat untuk melihat siapa sopirnya sementara waktu, karena aku yakin kaca depan mobil takkan segelap kaca belakangnya. Akhirnya aku berhasil mendahuluinya, sekarang aku tinggal lihat kaca spion, ini cara terakhirku untuk mengetahui apakah benar-benar bayi yang menjadi sopirnya, lalu aku perlahan-lahan melihat ke kaca spion, agar aku tidak terkejut nantinya jika memang benar sopirnya adalah seorang bayi, waktu aku lihat di spion, mobilnya sudah menghilang, aku tidak percaya, menoleh ke belakang untuk memastikan, ternyata mobil itu belok kanan, sia-sia.
Dalam perjalanan, aku terus memikirkan siapa yang jadi sopir mobil tadi, sehingga ada ibu-ibu yang berjalan tergesa-gesa dengan anaknya di trotoar tidak menimbulkan minatku untuk mengetahui apakah  yang sedang dia bincangkan dengan anaknya itu, atau mau kemanakah mereka dengan pakaian seperti itu, atau kenapa wajah mereka begitu cemas seperti itu.
Aku baru sadar bahwa ternyata tidak ada lagi terdengar musik di telingaku, apakah daya baterai handphoneku habis, aku menepi, lalu membuka tutup helm, dan ku sadari jika langit mendung, apakah hujan akan turun, ku keluarkan handphone  dari saku jaket, kuperiksa ternyata daya baterainya memang habis, tentu saja, tadi siang aku menelepon dosen pembimbing skripsiku, bikin janji ketemu di kantornya, sesampai disana ternyata beliau lagi makan siang ke kantin, akhirnya aku tunggu beliau di depan ruangannya, terlihat ada juga banyak mahasiswa lain yang sedang menunggunya di sana, ada yang wajahnya lelah, sepertinya dia semalaman tidak tidur karena menyusun skripsi, ada juga mahasiswi cantik, berdiri sambil memainkan smartphonenya. Dosen bersangkutan datang, lalu dia memanggil mahasiswi cantik itu masuk ke ruangannya, sepertinya kami harus bergiliran masuk ke ruangannya, tidak sampai dua menit, mahasiswi tadi sudah keluar dengan santai dalam kegembiraan tersirat di wajahnya, aku gembira sepertinya bapak dosen lagi bersuasana hati yang bagus, selanjutnya dipanggillah mahasiswa berwajah lelah itu, dia masuk dengan ketakutan, karena dosen yang satu ini biasanya pemarah, setelah beberapa saat di dalam ruangan terdengar suara bentakan beliau, lalu tidak sampai dua menit mahasiswa itu keluar dengan wajah ketakutan dan depresi akut.
***
Aku lanjutkan perjalananku setelah melepaskan handsfree dari telinga dan menyimpannya di tempat handphoneku disimpan, aku tutup kembali kaca helmku, dan kali ini tanpa ditemani suara musik. Kali ini aku mencoba hilangkan rasa penasaranku terhadap Baby’s Car dan siapa sopirnya dengan memikirkan kenapa si ibu tadi yang berjalan dengan anaknya berjalan dengan tergesa-gesa, barangkali dia lagi kebelet buang air, tapi tidak mungkin, kenapa dia berpakaian santai, dan wajah mereka cemas, nah ini perlu ditinjau kembali, mungkin mereka mendapatkan kabar suaminya ditangkap SATPOL PP karena berdagang kaki lima, atau anaknya yang lain tabrakan karena membawa motor ugal-ugalan, atau karena mereka takut ketinggalan bus untuk pulang ke rumah.
Ternyata sore kali ini sedikit lebih panas dari hari biasanya, aku buka kaca helmku, kesejukan angin sore menerpaku, ternyata langit semakin gelap karena saking mendungnya, benarkah hujan akan turun.
Saat ini di depan sana mobil-mobil saling perang klakson, apakah gerangan, apakah ada yang kecelakaan, atau ada yang kelahi karena jalur mereka di ambil oleh lawan, setelah ku lihat sendiri ternyata kemacetan ini terjadi karena ada mobil pribadi yang diparkir sembarangan, sepertinya pemiliknya atau sopirnya seorang bayi, atau dia lagi sibuk, atau pura-pura sibuk karena malas memindahkan mobilnya, apalagi dimana mau diparkirkan kalau bukan di sini, kalau di tempat parkir umum jaraknya cukup jauh dari sini.
Setelah berhasil keluar dari medan perang emosi yang disalurkan ke klakson, melalui celah yang hanya bisa dilalui oleh motor, aku merasa bebas, sepertinya nyaman di sini dari pada di sana, kembali aku bersantai di atas motor bututku yang sedang berjalan ini, aku lalui persimpangan yang agak sepi daripada medan perang tadi, tidak beberapa meter setelah itu motorku cegukan seperti orang yang kurang minum saja, dan akhirnya mati.
Ini pasti bukan karena minyaknya habis, tidak mungkin karena sebelum berangkat tadi sudah aku isi satu liter di eceran (hehe karena uangku cuma sepuluh ribu), ini ada kemungkinan karena minyaknya kotor sehingga karburatorku tersumbat. Aku menepi lalu turun dari motor untuk mengeceknya, tiba-tiba hujan turun tanpa pemberitahuan seperti rusaknya motorku.
Aku layangkan pandangan ke semua penjuru, dimanakah tempat yang bisa dijadikan tempat berteduh, aha itu dia, aku lihat ada halte di depanku, aku dorong motor butut ini ke sana, rupanya di sana ada dua orang perempuan, salah satunya perempuan berjilbab dan satunya lagi tidak berjilbab, berpakaian ketat dan memakai rok pendek.
Sesampai di sana aku parkirkan motorku, lalu aku berteduh, sekarang aku bimbang apakah akan aku buka helm atau tidak, jika aku buka nanti mereka takut padaku, karena aku sangat mirip dengan orang gila, kalau tidak dibuka, mereka akan ketakutan juga, karena sekarang musim penjambretan, akhirnya aku memilih jadi orang gila daripada penjambret. Aku menolehkan wajah ke mereka, mereka melihatku dengan perasaan yang berbeda, yang berjilbab melihatku ketakutan, dan yang satunya lagi melihatku jijik, seakan dia mau muntah karenanya, aku melempar senyum untuk mereka berdua, sebelum aku tahu siapa yang sudi menyambut lemparanku itu, aku memalingkan muka dan duduk.
Tidak ada kejadian yang luar biasa selama aku duduk disitu, selain rupanya kami betah dalam kesendirian kami sendiri, aku sesekali melihat percikan hujan yang mengenai sepatu kumalku, dan sesekali melihat motor bututku yang sedang merana di bawah rintik hujan. Selang beberapa waktu, menepilah sebuah mobil sedan mengkilat, lalu membuka pintu sendiri, dan perempuan tak berjilbab itu berjalan dengan sepatu hak tingginya ke dekat mobil itu lalu masuk. Tinggallah kami berdua, aku dan si jilbab, dia menatap ke arahku, baru kali ini aku tidak bisa memberi penjelasan kenapa dia menatap ke arahku seperti itu dengan mata sayunya, aku mencoba melihat ke arah lain, namun susah ku alihkan darinya, beberapa saat kami saling tatap.
Dia rupanya bukanlah melihatku namun melihat apakah ada mobil angkot yang akan datang ke halte itu, ini dibuktikan karena saat menatap ke arahku setelah beberapa saat dia langsung mengangkat tangan kanannya agar mobil angkot itu menepi, dia naik ke mobil itu dan pergi, hujan masih belum berhenti, dan di sini aku tinggal sendiri menantinya berhenti.(Bukittinggi, 2015)

Imrizal Pratama, lahir di Bukittinggi, 11 Januari 1992. Sekarang aktif dalam dunia perkuliahan dan penikmat karya sastra.

2 comments:

  1. Saya suka alurnya. Penulis sangat detail dalam penceritaannya. Mungkin ini bukan cerpen kebanyakan yang menjelaskan ketokohan atau konflik, cerpen ini memiliki kelebihan dalam alur dan ending yang tak terbaca. Sukses terus buat penulis semoga karyanya semakin diminati dan bermanfaat tentunya. 😀

    ReplyDelete