Sunday, April 9, 2017

Kepala Desa



“Dengan ini, aku umumkan bahwa pendaftaran calon kepala desa dibuka secara resmi, masa pendaftaran hanya dibuka selama dua hari, terima kasih” tutup ketua panitia pemilihan kepala desa, dia berdiri di depan ratusan masyarakat yang jauh hari sudah diumumkan untuk berkumpul di sekolah dasar ini.
Sebenarnya aku biasanya tidak mau tahu apapun tentang hal seperti ini sebelumnya, karena kesibukan di tempat kerja, dan juga siapapun yang jadi kepala desa, toh tidak akan membuat perbedaan sedikitpun bagi aku, bahkan tanpa kepala desa pun masyarakat masih akan hidup seperti biasa.
Cuma kali ini yang akan mendaftar sebagai calon kepala desa adalah pamanku, Hermawan namanya, rambut keritingnya sering tertutupi dengan peci nasional yang sedikit pudar itu, entah sejak kapan peci itu dibeli, pernah beberapa kali aku sodorkan peci baru untuk pengganti peci pudar itu, namun beliau dengan senyum menolaknya dan berkata “simpan saja dulu, peci ini masih bagus kok”, selalu itu yang dikatakannya.
Namun ada hal lain yang beliau jaga mirip peci tua itu, kumis tebalnya, ini yang tidak bisa hilang darinya, bahkan menjadi ciri khasnya, jika ditutupilah semua wajahnya selain kumis itu, semua masyarakat desa ini sudah tahu kalau itu beliau, karena kumisnya ini sangat khas, tebal, hitam, dan rapi, namun diujungnya sedikit melentik, lentikan inilah yang jadi ciri khasnya.
Kalau masalah berpakaian, beliau hampir mirip seleranya dengan Bapak-bapak di desa ini, hanya pecinya saja yang membuat beliau berbeda, sehingga anak-anak sering memanggilnya Bapak Peci, dan beliau sangat suka dipanggil begitu, bahkan sebenarnya beliau sangat suka dengan anak-anak.
Sebenarnya kesukaannya terhadap anak-anak bukan karena beliau memang tidak mempunyai anak, atau pernah punya anak namun sudah meninggal, bukan itu, beliau memang sangat menyukai anak-anak, walaupun itu bukan anaknya sendiri, semua orang tahu, bahkan ada cerita pilu di balik itu.
Dulu waktu umur aku empat tahunan, aku dan anak beliau hampir seumuran, tapi anak beliau lebih tua tiga bulan, aku lahir bulan maret, anaknya bulan januari, Rangga nama anaknya, maklumlah anak seumuran kami memang sedang sangat suka main, main apa aja, bahkan sering dicariin sama orang tua kami, jadi siang itu memang panas dari biasanya, kami disuruh bermain di bawah pohon jambu rindang, sejuk dibawahnya.
Setelah beberapa lama kami main kelereng, sedang asyiknya karena kami tidak merasakan panasnya siang itu, terdengarlah bunyi keras entah berasal dari apa, namun kami tahu itu berasal dari jalanan, kami langsung berlari ke arah bunyi keras itu, ingin tahu apa yang terjadi, namun tidak hanya kami saja yang berlari ke arah yang sama, paman dan ayahku berlari juga ke sana.
Ternyata ada kecelakaan, anak kecil ditabrak motor, tubuhnya terkapar di tengah jalan, berlumuran darah, dan pelakunya juga terkapar dengan motor menghimpitnya, tubuhnya diam, tak bergerak sedikitpun, namun si anak kejang-kejang, seketika itu juga paman langsung mengambil anak itu, memangkunya dan berteriak ke arah ayah.
“Cepat ambil motor, kita antar anak ini ke rumah sakit”.
Ayah langsung berlari ke arah rumah dan tidak lama datang dengan motornya, paman langsung menaiki motor dengan anak itu dipangkuannya, Rangga yang masih kecil, melihat motor dan ayahnya menaiki motor dengan anak orang lain merasa cemburu dan menangis mengejar ayahnya, namun ayah dan paman tidak melihat kejadian itu dan segera ke rumah sakit, Rangga mengejar di belakangnya, lantas tidak didengar, dia menangis dan menggulingkan tubuhnya di jalanan, dan ternyata dia terguling ke arah selokan, dia terjatuh dengan kepalanya lebih dulu, tidak ada yang bias mencegah kejadian itu, dia meninggal di tempat, dan ayahnya tidak tahu apa-apa, karena zaman itu belum ada ponsel, maka setelah tiba di rumah sakit baru dapat berita bahwa anaknya meninggal dari orang yang disuruh menyusul ke rumah sakit.
Tidak ada yang bisa membayangkan betapa sedihnya beliau setelah kejadian itu, bahkan kesedihanku kehilangan teman dan sepupu. Selama satu bulan, beliau libur bekerja setelah kejadian itu, nafsu makan berkurang sehingga beliau kurus, begitu juga bibi, beruntung kami tinggal satu atap, jadi ada yang akan memperhatikan suami istri malang itu.
Tapi itu cerita lama, dan sekarang beliau sudah seperti biasa, walau terkadang melihat anak-anak di desa dengan pandangan yang berbeda, pandangan berat itu menyimpan berjuta rasa yang tidak pernah beliau utarakan pada siapapun, dan aku yang sekarang sudah berumur dua puluh tujuh tahun bisa merasakan kenangan itu begitu pahit bagi beliau.
*****
Setelah dua hari semenjak dibukanya pendaftaran calon kepala desa, disebarkanlah pengumuman siapa saja yang telah mendaftar sebagai calon, biasanya pengumuman ini ditempel di tempat keramaian, seperti warung, tempat nongkrong anak muda, dan juga di mesjid-mesjid.
Sebenarnya aku tidak ingin tahu pengumuman itu, karena bagaimanapun aku akan memilih pamanku, namun karena aku ikut menjadi tim pemenang beliau, sehingga diperlukan siapa yang akan menjadi tandingan paman. Kebetulan rumahku dekat dengan mesjid, aku langsung saja ke sana.
Selama perjalan ke mesjid aku sempat berpapasan dengan tetangga yang juga baru dari mesjid membaca pengumuman itu, aku tidak percaya dengan yang aku dengar dari tetangga itu, maka aku pergegas langkah, dan sesampai di mesjid aku terkejut, ternyata benar apa yang diceritakan tetangga barusan bahwa Bang Haekal tandingan pamanku, cuma dua itu saja yang mendaftar jadi calon kepala desa.
Aku terkejut bukan karena hanya dua orang saja yang jadi calon kepala desa, tapi Bang Haekal itu adalah calon kakak iparku, saat ini aku sedang menjalin hubungan dengan adiknya, dan sudah aku jadwalkan bulan depan akan melamar Sarah, perempuan ayu tamatan sekolah tinggi keperawatan dekat dengan kampusku dulu, Sarah berwajah bulat, santun, sopan, dan pandai mengambil hati orang tuaku, dan yang terpenting bagiku adalah ketika melihat wajahnya, jiwaku terasa tenang.
Tapi bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan, apakah keluarganya akan menerima lamaran aku nanti jika hari ini saja aku sudah mengibarkan bendera yang berbeda dengan keluarganya, dan apa juga yang akan aku katakan kepada paman jika aku berubah arah dan meninggalkan beliau untuk mendukung calon kakak iparku.
*****
Sudah dua hari ini aku sering ke atas tebing di belakang mesjid dekat rumah, di atas sana bisa terlihat pemandangan nan elok dari desa ini, ada hutan pinus, dan sepertinya sungai menjadi pemisah yang indah antara hutan itu dengan hamparan sawah di sebelahnya, begitu hijau, dan angin sepoi sering menerbangkan rambutku yang ikal.
Kegiatan ini biasanya aku lakukan jika aku harus membuat suatu keputusan, karena di sini aku merasa lapang, dan biasanya keputusan yang lahir di tempat ini adalah keputusan terbaik, karena aku memutuskannya dalam keadaaan damai, jiwa yang tenang, tidak ada ketergesaan untuk memilih mana yang harus dilakukan, apakah aku akan memihak calon kakak iparku atau paman.
Hari ini akhirnya setelah berjam-jam aku duduk di tepi tebing ini, sebuah keputusan muncul, sebuah keputusan yang kuat. Bukannya aku tidak mau melakukan shalat istikharah, tapi menurut aku Tuhan tidak usah disibukkan hal sepele seperti ini, karena Tuhan sudah memberikan dua kelebihan pada manusia untuk menyelesaikan hal seperti ini, yaitu Fikiran dan Perasaan Hati, jika fikiran menghasilkan sebuah keputusan, silahkan timbang dulu dengan hati apakah baik atau tidak, dan jika hati bersikeras untuk memutuskan sesuatu, tahanlah dulu dan pertimbangkanlah dengan Akal kita, itu salah satu pesan ayahku dulu.
*****
“Keputusan aku sudah bulat, maafkan aku paman, aku akan memihak Bang Haekal, bukan karena dia Calon Kakak Iparku, namun karena dia sepengetahuanku sebelum ini pernah jadi ketua pemuda, para pemuda jadi teratur, desa kita aman, serta pemuda dan pemudi kita telah banyak yang mempunyai penghasilan, dan itu Bang Haekal yang mengusahakannya, Paman”. Aku mengucapkannya dengan berat hati sebenarnya, karena aku takut paman akan berkecil hati.
“Kalau itu keputusanmu, tidak apa-apa, bersungguh-sungguhlah kamu menolongnya, nak”. Beliau berbicara dengan wajah tulusnya sambil memegang pundakku.
“Terima Kasih, paman, Maafkan aku”. Aku bersungguh-sungguh, dan melangkah keluar dari rumah paman. Selanjutnya aku ke rumah Bang Haekal, untuk mengatakan bahwa aku akan bergabung dengan tim suksesnya.
Malam kali ini terasa berbeda, karena sudah lama hujan tidak turun di desa kami, namun kali ini walaupun hujan tidak turun, gerimis cukup menjadi penjawab doa padi di sawah. Aku terus berjalan ke rumah Bang Haekal, sekarang masih pukul 19.27 WIB, jadi tidak masalah untuk bertamu, mudah-mudahan Sarah belum tidur.
Tidak lama, jarak rumah kami hanya tiga ratus meter, dengan berjalan kaki hanya memakan waktu sekitar tujuh menit. Kebetulan pagar rumahnya masih terbuka, dan ada beberapa motor yang jelas bisa kukenali sebagai motor pemuda di desa ini. Sampailah di depan pintu rumah.
“Hahaha…. kalau Abang menang jadi Kepala Desa, bakalan kaya kita Bang”. Kata seorang yang sepertinya seorang pemuda, karena suaranya seperti suara anak muda dan dia memanggil Abang kepada seseorang, dan hanya satu kemungkinan orang yang dipanggil Abang di rumah ini yang akan jadi Kepala Desa.
Aku urungkan untuk mengetok pintu, dan sebenarnya ingin lebih tahu banyak yang akan dibicarakan orang-orang dibalik pintu ini.
“Tentu, jika saya jadi Kepala Desa, akan aku jual semua sumber daya desa ini…Hahahaha..”. Jawab suara kedua yang ku kenali sebagai suara Bang Haekal. Aku tidak percaya dengan yang aku dengarkan ini. Dan aku langsung aktifkan fitur rekam di SmartPhone-ku.
“Emang Desa kita ini kaya Bang?”. Suara pemuda lain bertanya.
“Kaya, bahkan sangat kaya, contohnya hutan pinus itu, jika kita jual kayunya, kamu sendiri tidak akan bisa menghitung berapa duitnya, banyak lagi contoh lainnya, yang jelas sekarang Saya harus jadi Kepala Desa, baru kita bisa kaya, jika kamu nikah nanti, saya kasih tiket bulanmadu di bali”. Jawabnya dengan sombong.
Mereka semua tertawa. Aku marah, inikah calon Kepala Desa yang akan aku dukung, namun amarah ini harus aku tahan dulu, karena ada kemungkinan hal lain yang harus ku dengar.
“Bang, aku kebelet nih, dimana toiletnya bang?”. Suara pemuda yang pertama bicara tadi.
“Di luar saja, toilet rumah Saya hanya untuk keluarga”. Jawabnya sombong.
Aku langsung gelagapan, mundur dan langsung berlari, namun aku lupa kalau banyak motor yang terparkir di halaman, aku jatuh menabrak salah satu motor, seketika mereka keluar rumah, mereka melihat wajahku, aku bangkit dan langsung berlari ke arah jalan, namun mereka berteriak.
“MALING…..MALING….!!!”
Semua orang yang ada di jalan langsung melihat ke arahku dan mengejar, aku terus berlari.
BRAAAAAKK!
Aku sempat melihat mobil yang menabrakku, sebelum mobil lain menghempasku. Aku tergeletak di tengah jalan, hangat dengan simbahan darah, orang-orang mengerumuniku dan semua menjadi gelap setelah helaan nafasku, helaan yang sangat sakit dan dingin.

Imrizal Pratama, masih belajar menulis, dan cerpen ini berhasil dicetak bersama dalam antologi cerpen Kasam, oleh Pustaka Daerah Sumatera Barat

0 comments:

Post a Comment