“Dengan
ini, aku umumkan bahwa pendaftaran calon kepala desa dibuka secara resmi, masa
pendaftaran hanya dibuka selama dua hari, terima kasih” tutup ketua panitia
pemilihan kepala desa, dia berdiri di depan ratusan masyarakat yang jauh hari
sudah diumumkan untuk berkumpul di sekolah dasar ini.
Sebenarnya
aku biasanya tidak mau tahu apapun tentang hal seperti ini sebelumnya, karena
kesibukan di tempat kerja, dan juga siapapun yang jadi kepala desa, toh tidak
akan membuat perbedaan sedikitpun bagi aku, bahkan tanpa kepala desa pun
masyarakat masih akan hidup seperti biasa.
Cuma
kali ini yang akan mendaftar sebagai calon kepala desa adalah pamanku, Hermawan
namanya, rambut keritingnya sering tertutupi dengan peci nasional yang sedikit
pudar itu, entah sejak kapan peci itu dibeli, pernah beberapa kali aku sodorkan
peci baru untuk pengganti peci pudar itu, namun beliau dengan senyum menolaknya
dan berkata “simpan saja dulu, peci ini masih bagus kok”, selalu itu yang
dikatakannya.
Namun
ada hal lain yang beliau jaga mirip peci tua itu, kumis tebalnya, ini yang tidak
bisa hilang darinya, bahkan menjadi ciri khasnya, jika ditutupilah semua
wajahnya selain kumis itu, semua masyarakat desa ini sudah tahu kalau itu
beliau, karena kumisnya ini sangat khas, tebal, hitam, dan rapi, namun
diujungnya sedikit melentik, lentikan inilah yang jadi ciri khasnya.
Kalau
masalah berpakaian, beliau hampir mirip seleranya dengan Bapak-bapak di desa
ini, hanya pecinya saja yang membuat beliau berbeda, sehingga anak-anak sering memanggilnya
Bapak Peci, dan beliau sangat suka dipanggil begitu, bahkan sebenarnya beliau
sangat suka dengan anak-anak.
Sebenarnya
kesukaannya terhadap anak-anak bukan karena beliau memang tidak mempunyai anak,
atau pernah punya anak namun sudah meninggal, bukan itu, beliau memang sangat
menyukai anak-anak, walaupun itu bukan anaknya sendiri, semua orang tahu,
bahkan ada cerita pilu di balik itu.
Dulu
waktu umur aku empat tahunan, aku dan anak beliau hampir seumuran, tapi anak
beliau lebih tua tiga bulan, aku lahir bulan maret, anaknya bulan januari, Rangga
nama anaknya, maklumlah anak seumuran kami memang sedang sangat suka main, main
apa aja, bahkan sering dicariin sama orang tua kami, jadi siang itu memang
panas dari biasanya, kami disuruh bermain di bawah pohon jambu rindang, sejuk
dibawahnya.
Setelah
beberapa lama kami main kelereng, sedang asyiknya karena kami tidak merasakan
panasnya siang itu, terdengarlah bunyi keras entah berasal dari apa, namun kami
tahu itu berasal dari jalanan, kami langsung berlari ke arah bunyi keras itu,
ingin tahu apa yang terjadi, namun tidak hanya kami saja yang berlari ke arah
yang sama, paman dan ayahku berlari juga ke sana.
Ternyata
ada kecelakaan, anak kecil ditabrak motor, tubuhnya terkapar di tengah jalan,
berlumuran darah, dan pelakunya juga terkapar dengan motor menghimpitnya,
tubuhnya diam, tak bergerak sedikitpun, namun si anak kejang-kejang, seketika
itu juga paman langsung mengambil anak itu, memangkunya dan berteriak ke arah
ayah.
“Cepat
ambil motor, kita antar anak ini ke rumah sakit”.
Ayah
langsung berlari ke arah rumah dan tidak lama datang dengan motornya, paman
langsung menaiki motor dengan anak itu dipangkuannya, Rangga yang masih kecil,
melihat motor dan ayahnya menaiki motor dengan anak orang lain merasa cemburu
dan menangis mengejar ayahnya, namun ayah dan paman tidak melihat kejadian itu
dan segera ke rumah sakit, Rangga mengejar di belakangnya, lantas tidak
didengar, dia menangis dan menggulingkan tubuhnya di jalanan, dan ternyata dia
terguling ke arah selokan, dia terjatuh dengan kepalanya lebih dulu, tidak ada
yang bias mencegah kejadian itu, dia meninggal di tempat, dan ayahnya tidak
tahu apa-apa, karena zaman itu belum ada ponsel, maka setelah tiba di rumah
sakit baru dapat berita bahwa anaknya meninggal dari orang yang disuruh
menyusul ke rumah sakit.
Tidak
ada yang bisa membayangkan betapa sedihnya beliau setelah kejadian itu, bahkan
kesedihanku kehilangan teman dan sepupu. Selama satu bulan, beliau libur
bekerja setelah kejadian itu, nafsu makan berkurang sehingga beliau kurus,
begitu juga bibi, beruntung kami tinggal satu atap, jadi ada yang akan memperhatikan
suami istri malang itu.
Tapi
itu cerita lama, dan sekarang beliau sudah seperti biasa, walau terkadang
melihat anak-anak di desa dengan pandangan yang berbeda, pandangan berat itu
menyimpan berjuta rasa yang tidak pernah beliau utarakan pada siapapun, dan aku
yang sekarang sudah berumur dua puluh tujuh tahun bisa merasakan kenangan itu
begitu pahit bagi beliau.
*****
Setelah
dua hari semenjak dibukanya pendaftaran calon kepala desa, disebarkanlah
pengumuman siapa saja yang telah mendaftar sebagai calon, biasanya pengumuman
ini ditempel di tempat keramaian, seperti warung, tempat nongkrong anak muda,
dan juga di mesjid-mesjid.
Sebenarnya
aku tidak ingin tahu pengumuman itu, karena bagaimanapun aku akan memilih pamanku,
namun karena aku ikut menjadi tim pemenang beliau, sehingga diperlukan siapa
yang akan menjadi tandingan paman. Kebetulan rumahku dekat dengan mesjid, aku
langsung saja ke sana.
Selama
perjalan ke mesjid aku sempat berpapasan dengan tetangga yang juga baru dari
mesjid membaca pengumuman itu, aku tidak percaya dengan yang aku dengar dari
tetangga itu, maka aku pergegas langkah, dan sesampai di mesjid aku terkejut,
ternyata benar apa yang diceritakan tetangga barusan bahwa Bang Haekal
tandingan pamanku, cuma dua itu saja yang mendaftar jadi calon kepala desa.
Aku
terkejut bukan karena hanya dua orang saja yang jadi calon kepala desa, tapi
Bang Haekal itu adalah calon kakak iparku, saat ini aku sedang menjalin hubungan
dengan adiknya, dan sudah aku jadwalkan bulan depan akan melamar Sarah,
perempuan ayu tamatan sekolah tinggi keperawatan dekat dengan kampusku dulu,
Sarah berwajah bulat, santun, sopan, dan pandai mengambil hati orang tuaku, dan
yang terpenting bagiku adalah ketika melihat wajahnya, jiwaku terasa tenang.
Tapi
bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan, apakah keluarganya akan menerima
lamaran aku nanti jika hari ini saja aku sudah mengibarkan bendera yang berbeda
dengan keluarganya, dan apa juga yang akan aku katakan kepada paman jika aku
berubah arah dan meninggalkan beliau untuk mendukung calon kakak iparku.
*****
Sudah
dua hari ini aku sering ke atas tebing di belakang mesjid dekat rumah, di atas
sana bisa terlihat pemandangan nan elok dari desa ini, ada hutan pinus, dan
sepertinya sungai menjadi pemisah yang indah antara hutan itu dengan hamparan
sawah di sebelahnya, begitu hijau, dan angin sepoi sering menerbangkan rambutku
yang ikal.
Kegiatan
ini biasanya aku lakukan jika aku harus membuat suatu keputusan, karena di sini
aku merasa lapang, dan biasanya keputusan yang lahir di tempat ini adalah
keputusan terbaik, karena aku memutuskannya dalam keadaaan damai, jiwa yang
tenang, tidak ada ketergesaan untuk memilih mana yang harus dilakukan, apakah aku
akan memihak calon kakak iparku atau paman.
Hari
ini akhirnya setelah berjam-jam aku duduk di tepi tebing ini, sebuah keputusan
muncul, sebuah keputusan yang kuat. Bukannya aku tidak mau melakukan shalat
istikharah, tapi menurut aku Tuhan tidak usah disibukkan hal sepele seperti
ini, karena Tuhan sudah memberikan dua kelebihan pada manusia untuk
menyelesaikan hal seperti ini, yaitu Fikiran dan Perasaan Hati, jika fikiran
menghasilkan sebuah keputusan, silahkan timbang dulu dengan hati apakah baik
atau tidak, dan jika hati bersikeras untuk memutuskan sesuatu, tahanlah dulu
dan pertimbangkanlah dengan Akal kita, itu salah satu pesan ayahku dulu.
*****
“Keputusan
aku sudah bulat, maafkan aku paman, aku akan memihak Bang Haekal, bukan karena
dia Calon Kakak Iparku, namun karena dia sepengetahuanku sebelum ini pernah
jadi ketua pemuda, para pemuda jadi teratur, desa kita aman, serta pemuda dan
pemudi kita telah banyak yang mempunyai penghasilan, dan itu Bang Haekal yang
mengusahakannya, Paman”. Aku mengucapkannya dengan berat hati sebenarnya,
karena aku takut paman akan berkecil hati.
“Kalau
itu keputusanmu, tidak apa-apa, bersungguh-sungguhlah kamu menolongnya, nak”.
Beliau berbicara dengan wajah tulusnya sambil memegang pundakku.
“Terima
Kasih, paman, Maafkan aku”. Aku bersungguh-sungguh, dan melangkah keluar dari
rumah paman. Selanjutnya aku ke rumah Bang Haekal, untuk mengatakan bahwa aku
akan bergabung dengan tim suksesnya.
Malam
kali ini terasa berbeda, karena sudah lama hujan tidak turun di desa kami,
namun kali ini walaupun hujan tidak turun, gerimis cukup menjadi penjawab doa
padi di sawah. Aku terus berjalan ke rumah Bang Haekal, sekarang masih pukul
19.27 WIB, jadi tidak masalah untuk bertamu, mudah-mudahan Sarah belum tidur.
Tidak
lama, jarak rumah kami hanya tiga ratus meter, dengan berjalan kaki hanya
memakan waktu sekitar tujuh menit. Kebetulan pagar rumahnya masih terbuka, dan
ada beberapa motor yang jelas bisa kukenali sebagai motor pemuda di desa ini.
Sampailah di depan pintu rumah.
“Hahaha….
kalau Abang menang jadi Kepala Desa, bakalan kaya kita Bang”. Kata seorang yang
sepertinya seorang pemuda, karena suaranya seperti suara anak muda dan dia
memanggil Abang kepada seseorang, dan hanya satu kemungkinan orang yang
dipanggil Abang di rumah ini yang akan jadi Kepala Desa.
Aku
urungkan untuk mengetok pintu, dan sebenarnya ingin lebih tahu banyak yang akan
dibicarakan orang-orang dibalik pintu ini.
“Tentu,
jika saya jadi Kepala Desa, akan aku jual semua sumber daya desa ini…Hahahaha..”.
Jawab suara kedua yang ku kenali sebagai suara Bang Haekal. Aku tidak percaya
dengan yang aku dengarkan ini. Dan aku langsung aktifkan fitur rekam di SmartPhone-ku.
“Emang
Desa kita ini kaya Bang?”. Suara pemuda lain bertanya.
“Kaya,
bahkan sangat kaya, contohnya hutan pinus itu, jika kita jual kayunya, kamu
sendiri tidak akan bisa menghitung berapa duitnya, banyak lagi contoh lainnya,
yang jelas sekarang Saya harus jadi Kepala Desa, baru kita bisa kaya, jika kamu
nikah nanti, saya kasih tiket bulanmadu di bali”. Jawabnya dengan sombong.
Mereka
semua tertawa. Aku marah, inikah calon Kepala Desa yang akan aku dukung, namun
amarah ini harus aku tahan dulu, karena ada kemungkinan hal lain yang harus ku
dengar.
“Bang,
aku kebelet nih, dimana toiletnya bang?”. Suara pemuda yang pertama bicara
tadi.
“Di
luar saja, toilet rumah Saya hanya untuk keluarga”. Jawabnya sombong.
Aku
langsung gelagapan, mundur dan langsung berlari, namun aku lupa kalau banyak
motor yang terparkir di halaman, aku jatuh menabrak salah satu motor, seketika
mereka keluar rumah, mereka melihat wajahku, aku bangkit dan langsung berlari ke
arah jalan, namun mereka berteriak.
“MALING…..MALING….!!!”
Semua
orang yang ada di jalan langsung melihat ke arahku dan mengejar, aku terus
berlari.
BRAAAAAKK!
Aku
sempat melihat mobil yang menabrakku, sebelum mobil lain menghempasku. Aku
tergeletak di tengah jalan, hangat dengan simbahan darah, orang-orang
mengerumuniku dan semua menjadi gelap setelah helaan nafasku, helaan yang
sangat sakit dan dingin.
Imrizal Pratama, masih belajar menulis, dan cerpen ini berhasil dicetak bersama dalam antologi cerpen Kasam, oleh Pustaka Daerah Sumatera Barat
0 comments:
Post a Comment